A. Makalah Sejarah Perkembangan Hindu Budha di Indonesia
1.
Masuk dan Berkembangnya Kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia
Munculnya pemerintahan kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan India.
Kebudayaan India itu bersentuhan dengan kebudayaan Indonesia. Persentuhan
kebudayaan ini terjadi sebagai salah satu akibat dari adanya hubungan yang
dilakukakan oleh orang-orang India dengan orang-orang Indonesia atau
sebaliknya. Hubungan itu berawal dari kegiatan perdagangan sehingga
pengaruh-pengaruh kebudayaan India dengan Budha masuk ke Indonesia.
a.
Bangsa India yang Aktif
Pendapat
mengenai keaktifan orang-orang India dalam menyebarkan kebudayaan Hindu-Budha
di Indonesia yaitu sebagai berikut :
1)
Hipotesis
Waisya
Hipotesis waisya dikemukakan oleh NJ. Krom yang
menyebutkan bahwa proses masuknya kebudayaan Hindu-Budha melalui hubungan
dagang antara India dan Indonesia.
2)
Hipotesis
Ksatria
Ada
tiga pendapat mengenai proses penyebaran kebudayaan Hindu-Budha yang dilakukan
oleh golongan Ksatria yaitu :
a)
CC. Berg
menjelaskan bahwa golongan ksatria yang turut menyebarkan kebudayaan
Hindu-Budha di Indonesia. Para ksatria Hindia yang terlibat konflik dalam
masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Para ksatria memberi bantuan yang
banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku yang bertikai
sebagai hadiahnya ada diantara mereka yang kemudian dinikahkan dengan salah
satu putri dari kepala suku yang dibantunya. Dari perkawinannya itu para
ksatria dengan mudah menyebarkan tradisi Hindu-Budha pada keluarga yang
dinikahinya.
b)
Moekerji juga
mengatakan bahwa golongan ksatria dari India lah yang membawa pengaruh
kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Para ksatria membangun koloni – koloni
yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.
c)
J.L Moens
mencoba menghubungkan proses tebentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia pada
awal abad ke-5 dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama.
Ternyata sekitar abad ke-5 ada diantara
para keluarga kerajaan di India selatan melarikan diri ke Indonesia sewaktu
kerajaannya mengalami kehancuran. Mereka itu nantinya mendirikan kerajaan di
Indonesia.
3)
Hipotesis
Brahmana
Jc.
Van Leur mengatakan bahwa kebudayaan Hindu-Budha di India yang menyebar ke
Indonesia dibawa oleh golongan brahmana. Hal itu didasarkan pada pengamatan
terhadap sisa-sisa peniggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di
Indonesia terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa sansekerta
dan huruf pallawa. Karena hanya golongan brahmana lah yang menguasai bahasa dan
huruf itu maka sangat jelas disini adanya peran brahmana.
b.
Bangsa
Indonesia yang Aktif
Pendapat mengenai keaktifan orang-orang
Indonesia diungkapkan oleh F.D.K Bosch. Menurut Bosch, yang pertama kali datang
ke Indonesia adalah orang-orang India yang memiliki semangat untuk menyebarkan
agama Hindu-Budha.
Setelah tiba di Indonesia mereka menyebarka
ajarannya. Karena pengaruhnya itu ada diantara tokoh masyarakat yang tertarik
untuk mengikuti ajarannya. Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang
Indonesia sendiri yang pergi ke India untuk berziarah dan belajar agama
Hindu-Budha di Indonesia. Sekembalinya di Indonesia merekalah yang mengajarkannya
pada masyarakat yang lain.
Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan
salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap
kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan
turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain :
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan hindu tertua di
Indonesia, dengan aliran agama hindu-siwa. Letaknya di Muara Kaman tepatnya
pada hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini ditandai
dengan adanya 7 buah prasasti, yang dinamai prasasti yupa dengan huruf palawa
dan bahasa sansekerta. Pendirinya adalah Raja Kudungga. Setelah Raja Kudungga
wafat, kerajaan diambil alih oleh putranya, Raja Aswawarman. Dan setelah Raja
Aswawarman wafat, kerajaan diambil alih oleh putra Raja Aswawarman, yaitu Raja
Mulawarman.
Pada
sebuah prasasti Yupa abad ke-4, dikisahkan bahwa Raja Mulawarman telah
menyumbangkan 1000 ekor sapi kepada para brahmana. Kisah ini menceritakan
betapa dermawannya seorang Raja Mulawarman, dari sini dapat dianalisis bahwa
masyarakat Kutai makmur dan bermata pencaharian sebagai petani dan beternak.
2. Kerajaan Tarumanegara
Sumber
mengenai kerajaan Tarumanegara berasal dari tujuh buah prasasti yang berbahasa
sansekerta dan huruf pallawa. Prasasti tersebut adalah prasasti Ciaruteun,
Kebun Kopi, Jambu, Tugu, Pasar Awi, Muara Cianten, dan Lebak. Seorang musafir
Cina bernama Fa-Hsien pernah datang di Jawa pada tahun 414 M. Ia telah menyebut
keberadaan kerajaan To-lo-mo atau Taruma di Pulau Jawa. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang pada abad
V M. Raja terbesar yang berkuasa adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan
Purnawarman meliputi hampir seluruh Jawa Barat dengan pusat kekuasaan di daerah
Bogor. Raja pernah memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali
sebuah saluran panjang 6.112 tumbak (± 11 km). Saluran itu berfungsi untuk
mencegah bahaya banjir. Saluran ini selanjutnya disebut sebagai sungai Gomati.
3. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah berjaya di Indonesia.
Kerajaan ini mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim dengan menguasai
lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Keberadaan kerajaan
ini diketahui melalui enam buah prasasti yang menggunakan bahasa melayu kuno
dan huruf pallawa, serta telah menggunakan angka tahun saka. Prasasti tersebut
adalah Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Kota Kapur dan Karang Berahi.
Nama Sriwijaya juga terdapat dalam berita Cina dan disebut Shih-lo-fo-shih atau
Fo-shih. Sementara itu di berita Arab, Sriwijaya disebut dengan Zabag atau
Zabay atau dengan sebutan Sribuza. Seorang pendeta Cina yang bernama I-Tsing
sering dataang ke Sriwijaya sejak tahun 672 M. Ia menceritakan bahwa di
Sriwijaya terdapat 1.000 orang pendeta yang menguasai agama seperti di India.
Berita dari Dinasti Sung juga menceritakan tentang pengiriman utusan dari
Sriwijaya tahun 971-992 M.
Raja
pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Raja yang terkenal dari
kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad IX M.
Sriwijaya merupakan pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha di Asia
Tenggara. Menurut berita I-Tsing, pada abad VIII M di Sriwijaya terdapat 1.000
orang pendeta yang belajar agama Buddha di bawah bimbingan Sakyakirti. Menurut
prasasti Nalanda, para pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Buddha dan ilmu
lainnya di India. Kebudayaan Kerajaan Sriwijaya sangat maju dan bisa dilihat
dari peninggalan suci sepeti stupa, candi, atau patung/arca Buddha seperti
ditemukan di Jambi, Muara Takus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit
Siguntang (Palembang).
4. Mataram Kuno
Menurut Teori Van Bammalen, letak
kerajaan ini berpindah-pindah, hal ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu
karena adanya bencana alam letusan Gunung Merapi, dan karena adanya peperangan
dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di
daerah Jawa Tengah, kemudian setelah Gunung Merapi meletus pada abad ke-10,
kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Agama di kerajaan ini
pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti
Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna
kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya.
Setelah Raja Sanjaya meninggal,
Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai
Warak digantikan oleh Rakai Garung (Samaratungga). Di tengah-tengah
pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan untuk
menjadi penguasa tunggal sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara Dinasti
Sanjaya yang dipimpin Rakai Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang dipimpin
Raja Samaratungga, membuat cita-cita Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa
tunggal di Pulau Jawa terhalang. Terjadi pertikaian antar kedua dinasti.
Akhirnya pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti melalui pernikahan
politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani dari
Dinasti Syailendra. Namun, pernikahan antara Rakai Pikatan dengan
Pramodawardhani ternyata tidak membuahkan kedamaian, malah justru membuat
pertikaian antara Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra semakin sengit.
Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai
Dinasti Sanjaya berhasil menguasai kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama
anaknya, Balaputradewa melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk
kemudian mereka menjalankan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram
Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang
juga jadi pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih ini di
antaranya adalah:
a.
Ratu, Datu, Sri Maharaj
b.
Rakryan Mahamantri I Hino
c.
Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan
d.
Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang
e.
Rakryan Kanuruhan
Raja Mataram
selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah Balitung
yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu
sebagai Raja Mataram Kuno yang sangat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan
kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa pemerintahannya,
Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan
hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan
I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya.
Rakryan I Halu, dan
Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga
menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti
Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat
silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan
Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat
kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja
Balitung menjabat Rakryan i Hino, melakukan kudeta karena merasa bahwa ia
adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa digantikan oleh
menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.
5.
Kerajaan Singhasari
Keberadaan Kerajaan Singhasari
didasarkan pada kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan
raja-raja yang memerintah di Singasari serta kitab Pararaton yang juga
menceritakan keajaiban Ken Arok. Ken Arok semula sebagai akuwu (bupati) di
Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya karena tertarik kepada Ken
Dedes isteri Tunggul Ametung. Pada tahun 1222 M Ken Arok menyerang kediri
sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.
Ken Arok menyatakan
dirinya sebagai Raja Singasari dengan gelar Sri Rangga Rajasa Bhattara Sang
Amurwabhumi. Raja Singasari yang terkenal adalah Kertanegara Karena di bawah
pemerintahannya Singasari mencapai puncak kebesarannya. Kertanegara bergelar
Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai gagaasan politik untuk memperluas
wilayah kekuasannya, menyingkirkan lawan-lawan politiknya, menumpas
pemberontakan, menyatukan agama Syiwa dan Buddha menjadi agama Tantrayana
(Syiwa Buddha dipimpin oleh Dharma Dyaksa), melakukan politik perkawinan, dan
mengirim ekspedisi Pamalayu tahun1275.
6.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir dan terbesar di
Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya yang sempat
melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa Mahapralaya.
Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik yang
merupakan pemberian Raja Jayakatwang dari Kediri. Raden Wijaya telah dimaafkan
dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan generasi atasnya.
Singkat
cerita, pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan
20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan untuk menyerang
Raja Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan menyatakan tidak mau
tunduk pada Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa Raja Kertanegara
beserta Kerajaan Singhasari itu telah meninggal dan hancur dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri. Mengetahui rencana penyerangan dari Cina ini, Raden
Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan Singhasari. Ia
menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di
Kediri.
Kerajaan
Kediri tidak mampu menghadapi serangan, sehingga Raja Jayakatwang berhasil
dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora.
Mereka tidak menyangka ketika sedang berpesta pora, pasukan Majapahit balik
menyerang mereka. Akhirnya pasukan armada Cina kalah, dan mereka segera kembali
ke tanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majaphit mulai berkuasa. Pada tahun 1295,
berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul
oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden
Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu
Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura. Setelah Raden Wijaya wafat,
putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya
sebagai Raja Majapahit.
Pada awal
pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus
dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara
diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada
ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager. Raja Jayanegara wafat tahun 1328 karena
dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena
ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre
Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani.
Suaminya
bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana. Dari
kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa
pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja
dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah
palapa), sebelum ia dapat menundukan seluruh Nusantara di bawah naungan
Majapahit.
Pada tahun
1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk.
Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22
tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk dinobatkan
sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan Gajah Mada diangkat
sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada,
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai
wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada
Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil yang belum berhasil dikuasai kerajaan
Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk bersama Patih Gajah
Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut.
Namun
ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur jatuh cinta pada putri dari Kerajaan
Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk bermaksud untuk
menikahi Dyah Pitaloka. Ia mengundang keluarga besar Kerajaan Sunda Galuh
datang ke Kerajaan Majapahit untuk menikah dengan Dyah Pitaloka. Ketika
keluarga besar dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan Majapahit, terjadi
kesalahpahaman. Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga besar Kerajaan Sunda
Galuh ingin menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih Gajah Mada segera
mengeluarkan pasukan dan membunuh semua anggota keluarga Kerajaan Sunda Galuh.
Hanya Dyah Pitaloka yang tidak dibunuh. Melihat seluruh keluarganya tewas, Dyah
Pitaloka pun akhirnya melakukan belapati (bunuh diri) pada dirinya sendiri.
Raja Hayam
wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman tersebut menjadi marah,
terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh diri atas
kesalahpahaman patihnya. Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan meninggal
karena sakit hati. Sejak kematian Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan Majapahit
mencapai masa kemunduran, perlahan-lahan kekuasaan Majapahit pun runtuh. Pada
salah satu versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah Mada pergi ke sebuah
gunung untuk berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah pada
rajanya.
No comments:
Post a Comment